Usaha pemerintah di Indonesia dalam menurunkan angka pengangguran selama 5 tahun terakhir
terpaksa disapu bersih dalam 1 langkah. Angka pengangguran di Indonesia pada kuartal pertama di
tahun 2020 berkisar 4.9 persen dari total populasi, kini menjadi 7 persen akibat pandemi COVID-19 –
menurut pernyataan yang diberikan oleh Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah.
Sementara menurut data yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat angka
pengangguran pada Februari 2021 mencapai 8.75 juta orang. Atau setara dengan 6.26 persen dari
kategori tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia. Angka ini dapat dibilang cukup
mencengangkan mengingat bahwa Indonesia sendiri semasa kepemimpinan presiden Jokowi telah
berusaha untuk menekan angka pengangguran dengan mengimbangi ketersediaan lapangan kerja
dengan terus bertambahnya angka populasi.
Lebih daripada itu, beberapa faktor disinyalir menjadi penyebab meningkatnya angka pengangguran dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun terakhir. Seperti angkatan kerja yang tidak dapat memenuhi kualifikasi di dunia kerja, atau dengan kata lain kurangnya skill dan sertifikasi pendidikan yang mumpuni. Atau ketidakstabilan perekonomian, politik, dan keamanan. Serta ketidakberhasilan sektor industri untuk membuka lapangan kerja baru yang luas dan minimnya penyerapan tenaga kerja.
Dalam menilai isu pengangguran di Indonesia, banyak variabel yang bermain dalam pembuatan
kesimpulan atau kebijakan yang tepat. Namun tentu tidak mungkin menutup mata bahwa sektor
industri harusnya bisa menjadi aktor utama dalam menurunkan angka pengangguran. Serta potensi
yang dimiliki Indonesia secara industri pun tidaklah kecil. Apalagi jika sektor industri mau menaruh
perhatian di industri daur ulang plastik.
Pabrik Daur Ulang Plastik Dan Potensinya Di Indonesia
Jika disandingkan dengan negara-negara lain di Asia, mayoritas masyarakat Indonesia sebetulnya
tidak menggunakan banyak plastik. Dilansir dari pernyataan yang dibuat oleh Direktur Bidang Olefin
dan Aromatik Inaplas, Edi Rivai, penggunakan plastik per kapita masyarakat Indonesia hanya 20
kilogram setiap tahunnya. Sangat jauh dengan Vietnam (42.1 kilogram) atau bahkan Korea Selatan
(141 kilogram). Namun masalah yang nampak adalah sistem manajemen sampah plastik di Indonesia yang kian buruk.
Hal ini pun tergambar dari bagaimana setiap tahunnya sekitar 1.3 juta ton sampah plastik bermuara
ke laut. Atau 39 juta ton sampah plastik menumpuk di pembuangan Bantar Gebang setiap tahun. Jika ditarik mundur, salah satu penyebab utamanya adalah bagaimana industri domestik dan pemerintah Indonesia sendiri tidak menaruh perhatian yang banyak untuk produktivitas pabrik daur ulang plastik.
Padahal pabrik daur ulang plastik memiliki potensi yang sangat baik mengingat sampah plastik di
Indonesia menumpuk. Lebih daripada itu, pengadaan pabrik daur ulang plastik yang aktif mampu
menjadi solusi mutakhir dalam menyelesaikan isu pengangguran di Indonesia. Juga tentu berdampak pada kualitas lingkungan yang lebih baik.
Mampukah Daur Ulang Plastik Membantu Mengatasi Masalah Pengangguran Di Indonesia?
Secara umum, daur ulang plastik terbagi atas dua proses. Yaitu proses daur ulang plastik secara
mekanik dan yang menggunakan bahan kimia. Di mana kedua proses ini melibatkan serangkaian
langkah yang tentu membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit. Jika memang akan diterapkan
secaera komperhensif di Indonesia.
Kedua proses baik mekanikal maupun yang menggunakan bahan kimia, dimulai dengan proses
pengumpulan sampah plastik yang biasa mengandalkan pemulung. Pemulung sendiri merupakan
profesi yang kerap kali dipandang sebelah mata dan tidak dianggap penting karena penghasilannya
yang kecil. Padahal merupakan langkah utama sebelum akhirnya plastik diproses di pabrik daur ulang plastik.
Sesampainya plastik setelah proses pengumpulan oleh pemulung, plastik akan dicuci dan dicacah
kecil-kecil sebelum akhirnya diproses secara mekanik atau menggunakan bahan kimia. Kalimat
sebelumnya adalah rangkuman kecil dari sebuah proses panjang di pabrik daur ulang plastik. Jika
dipisahkan lebih terperinci, mulai dari pengumpulan, distribusi ke pabrik-pabrik, pencacahan,
pencucian, pirolisis kimia, atau persiapan produk tahap akhir melibatkan tenaga kerja yang tidak
sedikit. Dengan tenaga ahli yang dibutuhkan dari lintas studi.
Tanpa berpacu pada penelitian manapun, logika sederhana yang dapat ditelaah bahwa mengolah
plastik 20 kilogram per kapita dirasa sangat cukup untuk menjadi sumber mencari uang baru bagi
mereka yang membutuhkan. Bukan hal yang bisa dianggap remeh. Mengingat bahwa faktor esensial dari sebuah bisnis adalah sustainability dari praktik itu sendiri ke depannya. Dan potensi yang besar dalam menciptakan lapak pekerjaan baru demi mengimbangi angka pertumbuhan masyarakat Indonesia yang setiap tahunnya terus meningkat.
Perlu diingat bahwa bahaya yang nyata dari pertumbuhan penduduk adalah bagaimana
manusia-manusia yang lahir justru tidak menjadi beban karena persaingan kerja yang ketat.
Ditambah kepentingan industri yang sangat berpatok ke dalam, dan tidak membuka mata pada
peluang yang lebih luas atau kepedulian ke masyarakat sendiri. Data sudah membuktikan bahwa,
secara sumber daya manusia, maupun bahan mentah yang diperlukan sangat mencukupi untuk
pabrik daur ulang bisa diciptakan dengan manajemen yang baik dan bertahan secara operasional.
Lantas pertanyaan yang timbul, maukah meluangkan waktu lebih untuk memberi perhatian ke
masyarakat dan lingkungan lewat daur ulang plastik?