Dalam proses penanggulangan sampah plastik, mungkin anda sudah tidak asing lagi dengan
istilah yaitu “bank sampah”. Sebuah program yang memberdayakan keterlibatan masyarakat
dalam mengumpulkan dan memilah sampah di daerah sekitarnya, dan mendapat sejumlah
uang sebagai imbalan. Konsep ini sendiripun diusung pertama kali oleh sebuah organisasi
yang berekspansi menjadi perusahaan multinasional, dikenal dengan nama Limbahagia.
Sampai akhirnya pun konsep program ini dianut oleh pemerintah Republik Indonesia pada
tahun 2012 sebagai salah satu dasar hukum dalam memberdayakan Bank Sampah.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.13 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan
Reduce, Reuse, dan Recycle Melalui Bank Sampah, tertera jelas bagaimana mekanisme
terhadap bank sampah akan dilakukan. Di mana fokus utama yang menjadi incaran bank
sampah Indonesia sendiri adalah sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga,
yang tentu melibatkan banyak limbah plastik di dalamnya. Serta bagaimana Extended
Producer Responsibility menjadi mekanisme utama dalam pengadaan barang yang
dibutuhkan, dan mengintegrasikan biaya lingkungan selama pelaksanaannya. Serta proses
pelaksanaannya sendiri yang melibatkan semua jajaran masyarakat mulai dari Menteri,
gubernur, hingga masyarakat.
Sampai tahun 2021, sudah terdapat sekiranya 11.556 unit Bank Sampah di Indonesia yang
tersebar di 363 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Namun apakah saat ini Indonesia
dapat dibilang memiliki sistem manajemen sampah plastik yang baik dengan keberadaan
bank sampah ini? Kenyataan justru berkata lain, karena faktanya Indonesia menumpukkan
sampah plastik sebesar 64 juta ton per tahunnya. Serta 3,2 juta ton di antaranya berakhir di
laut lepas.
Dari data rangkuman seperti yang dikutip dari Badan Pusat Statistika, kita dapat sedikit banyak menilai bahwa sistem manajemen sampah di Indonesia sendiri belum memiliki
pencapaian yang signifikan. Karena 64 juta ton sampah plastik sendiri belum mencakup
material jenis lainnya seperti sampah organik atau logam. Keberadaan bank sampah sendiri
yang “merakyat” sendiri terkesan stagnan dan tidak memiliki kemajuan.
Pendapat ini tidak semata-mata diutarakan tanpa sebab, namun berpatok pada data dan
pendapat para ahli. Lantas dalam mengkaji lebih jauh signifikansi sampah bank, apa saja
yang menjadi penyebab tidak berjalan optimalnya bank sampah? Pusat Transformasi
Kebijakan Publik (Transformasi) setidaknya menilai ada dua sumber utama penyebab tidak
efektifnya pelaksanaan bank sampah. Simak ulasan berikut untuk mengetahuinya.
Masalah Di Kapasitas Manajerial
Bambang Wicaksono selaku penasihat kebijakan Transformasi, menilai bahwa penyebab
utama dari kurang efektifnya bank sampah di Indonesia adalah kapasitas manajerialnya yang
memiliki kekurangan di berbagai sektor. Di mana sebagai kebijakan yang dikeluarkan oleh
Menteri Lingkungan Hidup, konsistensi dari program ini pun terus menyusut seiring
berjalannya tahun. Sehingga bank sampah tidak aktif dilakukan lagi di banyak daerah di
Indonesia, hanya beberapa kawasan tertentu saja.
Lebih daripada itu, bank sampah dinilai kekurangan dalam mendapat dukungan dari
masyarakat maupun pemerintah setempat. Di mana program ini tentunya membutuhkan
sekian proses agar berlaku aktif, seperti peremajaan manajerial dan pelatihan pengolahan
sampah terutama sampah plastik. Di mana keilmuan dan inovasi di bidang sampah plastik
setiap tahunnya selalu muncul.
Kurangnya Aspek Permodalan
Serta penyebab yang kedua melihat pada sistem penyaluran dana yang kurang pada program
bank sampah selama kurang lebih 8 tahun berjalan. Bambang Wicaksono menilai bahwa
perlu integrasi dilakukan terhadap bank sampah dengan bank lokal daerah yang komersil agar masyarakat dapat meraup keuntungan dari bank sampah. Sebagaimana bank sampah yang dicita-citakan oleh Limbahagia.
Sinkronisasi antara bank sampah dan bank daerah sendiri dapat dilihat praktik nyatanya di
beberapa daerah di Indonesia seperti Makassar, Surabaya, dan Gowa. Praktik di ketiga
daerah tersebut sudah mengusung ekonomi sirkular yang sebetulnya masih dalam proses
diaplikasikan dalam skala nasional. Lebih daripada itu, pelaksanaan bank sampah yang
kurang dana ini seakan tidak melaksanakan ketentuan di Permen LH nomor 13 tahun 2012.
Di mana pada pasal 1 ayat 3 yang mengusung Extended Producer Responsibility sebagai
bentuk integrasi dana yang harus dilaksanakan.